fococlipping-20220104-191657

Riset: Dana Pensiun Perlu Diperkuat Antisipasi Pasca Bonus Demografi

by ifgprogress

|

16 March 2022

Riset IFG Progress mengungkapkan perlunya percepatan penguatan dana pensiun Indonesia untuk mengantisipasi masyarakat usia non produktif melonjak pasca bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2038. Data 2020 mencatat, gabungan dari BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, Asabri, dan dana pensiun swasta hanya mencakup penetrasi 6,88%.<?p>

Head of IFG Progress Reza Yamora Siregar menyampaikan, tahun 2020-2022 Indonesia menikmati bonus demografi tertinggi. Perbandingan antara penduduk usia non produktif terhadap penduduk usia kerja atau yang dikenal dengan dependency ratio berada di level terendah.

“Akan tetapi, bonus demografi ini diperkirakan akan berakhir pada tahun 2038 dan di tahun 2045 struktur demografi akan bergeser, di mana jumlah penduduk non produktif akan meningkat secara substansial. Pada tahun 2060, dependency ratio diperkirakan sudah di atas 50%,” ujar Reza dikutip dari hasil riset IFG Progress, Rabu (9/3).

Dia mengungkapkan, dependency ratio sebesar 50% itu artinya dua orang penduduk usia kerja (produktif) membiayai lebih dari satu orang penduduk di luar usia kerja (non-produktif). Situasi ini menandakan adanya fenomena aging-population yang akan menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia.

“Semakin banyak persentase penduduk tua di suatu negara, semakin besar pengeluaran dana pensiun publik. Kesiapan dana pensiun Indonesia menjadi kunci dalam memastikan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang akan menua di masa depan, tanpa mengganggu kesinambungan pembiayaan pertumbuhan ekonomi domestik,” ujar dia.

Dia memaparkan, jika penetrasi antara BPJS TK, Taspen, Asabri, dan Dana Pensiun Swasta (DPPK dan DPLK) digabung maka penetrasi dana pensiun di Indonesia hanya sebesar 6,88% dari total PDB. Penetrasi dari dana pensiun publik dan swasta itu baru mencakup 25,16 juta pekerja.

Belum lagi, aset dana pensiun di Indonesia masih tertinggal dari dana pensiun negara berkembang lainnya seperti Thailand, Brazil, dan Malaysia. Laju pertumbuhan tahunannya pun belum cukup cepat, hanya 11,43% pada tahun 2020. Sedangkan India dan Turki punya tingkat pertumbuhan aset di atas 25%.

Reza mengungkapkan, setidaknya ada dua tantangan rendahnya penetrasi dana pensiun di Indonesia. Pertama, berhubungan dengan jumlah tenaga kerja pada program dana pensiun yang ada. Dari sekitar 128,5 juta pekerja di Indonesia, hanya sekitar 17,5-20,6 juta pekerja formal (dari total sekitar 50,7 juta pekerja formal) yang memiliki tabungan pensiun dari BPJS TK, Taspen, dan Asabri, dan hanya sekitar 200 ribu pekerja informal yang mempunyai akses pada JHT dari BPJS TK.

Di sisi lain, ada hanya sekitar 4,3 juta pekerja yang mempunyai dana pensiun dari pihak swasta. Dengan demikian, Diperkirakan sekitar sekitar 103,3 juta pekerja, yang meliputi sekitar 73-77 juta pekerja informal dan sekitar 25-30 juta pekerja formal di Indonesia belum mempunyai akses terhadap dana pensiun.

Faktor kedua berhubungan dengan tingkat persentase kontribusi wajib dari pekerja dan pemberi kerja dari total pendapatan pekerja. Di Indonesia, tingkat kontribusi wajib dana pensiun publik dengan proxy BPJS TK sekitar 8,7%. “Total kontribusi ini masih jauh dibawah negara-negara Asia dengan rata-rata tingkat kontribusi 16,32%,” jelas Reza.

Di sisi lain, Research Associate IFG Progress Mohammad Alvin Prabowosunu menuturkan, kondisi dana pensiun di Indonesia menjadi penting untuk dikembangkan melihat bonus demografi diperkirakan akan selesai pada tahun 2038. Adapun potensi peningkatan dana pensiun publik di Indonesia masih sangat besar, hingga 6-7 kali lipat besaran dana pensiun publik saat ini.

“Di luar dana pensiun publik, dana pensiun swasta juga dapat menjadi potensi untuk meningkatkan dana pensiun Indonesia secara umum. Peningkatan ini sangat memungkinkan untuk dicapai jika terdapat kebijakan yang dapat memperluas cakupan pekerja serta meningkatkan tingkat kontribusi menjadi on par dengan rata-rata negara benchmark,” beber dia.

Pada intinya, Alvin mengungkapkan, penetrasi dan cakupan pensiun publik saat ini masih relatif rendah dan perlu ditingkatkan melalui sejumlah kebijakan pemerintah. Ada dua fokus yang perlu dibenahi secara serius oleh pemerintah bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya.<?/p>

Pertama, mendorong transformasi sektor informal menjadi formal untuk meningkatkan cangkupan partisipasi tenaga kerja di dana pensiun. “Pekerja informal dapat menjadi kunci untuk mencapai potensi dana pensiun publik yang lebih besar. Implementasi dari Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong ‘formalisasi’ dari banyak sektor informal, terutama pada sektor swasta,” kata Alvin.

Fokus kedua, kata dia, kebijakan mendorong skema wajib untuk dana pensiun. Dana pensiun swasta (DPLK dan DPPK) saat ini masih banyak dalam bentuk skema sukarela. Transformasi skema sukarela menjadi skema wajib sangat berpotensi untuk meningkatkan kontribusi dana pensiun sektor swasta. Karena saat ini hanya sekitar 40% tenaga kerja formal berpartisipasi di dana pensiun.

Sumber berita: Investor.id

Bagikan

Baca Juga