fococlipping-20220104-191657

Potensi Besar Asuransi dan Dana Pensiun Membiayai Net Zero Emission

by Admin IFG Progress

|

14 June 2022

Penulis: Reza Yamora Siregar [1], Rizky Rizaldi Ronaldo [2]

Pemerintah mendorong pengembangan sektor keuangan non-bank, khususnya asuransi dan dana pensiun. Saat ini merupakan waktu yang tepat. Ini juga sebagai langkah strategis untuk menyiapkan kapasitas pembiayaan dalam memenuhi komitmen menghadapi perubahan iklim global (global climate change).  Jika ditelaah lebih dalam, perkembangan sektor asuransi maupun dana pensiun dan keberhasilan mencapai target agenda dari net zero carbon emission pada 2060 sebenarnya merupakan dua hal yang saling bergantungan. Selain guncangan terhadap rantai pasok karena kenaikan biaya pengiriman dan ketegangan geopolitik yang terjadi di Ukraina, lonjakan dan volatilitas harga komoditas energi dan pangan sering dikaitkan sebagai katalis transisi global menuju energi terbarukan dan pencapaian target net-zero carbon emission berdasarkan Paris Agreement 2015 (termasuk fase pengurangan di tahun 2030 dan 2050/2060). Pertemuan Presidensi G-20 Indonesia tahun ini juga membawa agenda energi hijau sebagai strategi pendorong utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Bagi Indonesia, komitmen terhadap net-zero carbon emission pada 2060 merupakan agenda penting. Hal ini mengingat Indonesia termasuk dalam sepuluh besar negara dengan emisi karbon terbesar, menyumbang sekitar 2 % dari total emisi global pada 2020. Sekitar 60 % industri energi Indonesia masih berbasis pada sumber energi tidak terbarukan atau non-renewable energy, seperti batu bara.

Menurut laporan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas 2021, Indonesia perlu menginvestasikan sekitar US$ 150 miliar atau Rp 2.150 triliun per tahun dari 2021 hingga 2030 untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon di 2030. Nilai kebutuhan investasi tersebut setidaknya sekitar 140 % dari PDB nominal Indonesia pada 2020. Sekitar 20 % lebih besar dibandingkan dengan nilai seluruh aset sektor keuangan domestik (perbankan, asuransi, pasar modal dan dana pensiun) yang kurang dari 120 %. Dangkalnya penetrasi sektor keuangan terlihat lebih mencolok ketika kita melihat total nilai ‘aset hijau’ di sektor keuangan. Kurang dari 2% dari total surat utang / obligasi yang beredar pada 2021 dapat diklasifikasikan sebagai obligasi hijau.

Bantuan keuangan dari negara-negara maju serta lembaga multilateral ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memenuhi target investasi tersebut masih sangat lambat dan terbatas. Pada saat bersamaan, peningkatan signifikan dalam investasi oleh sektor swasta asing terlihat di sektor energi bersih, khususnya seperti di tenaga surya, tenaga air, dan kendaraan listrik/hybrid. Namun eksposur risiko terhadap siklus bisnis dan keuangan yang terkait dengan struktur jatuh tempo jangka panjang dari proyek-proyek investasi ini sering menjadi kendala terhadap partisipasi sektor swasta, termasuk investasi langsung asing yang sangat dibutuhkan.

Di sisi lain, ruang fiskal pemerintah dibatasi oleh rasio pajak yang rendah (kurang dari 10% dari PDB) dan aturan defisit anggaran yang ketat di mana defisit anggaran tahunan tidak boleh lebih dari 3% dari PDB nominal. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas pembiayaan domestik non-fiskal menjadi suatu keharusan untuk memenuhi target investasi tersebut.

Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyusun undang-undang baru tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang dikenal sebagai RUU-P2SK. Tujuan utamanya termasuk mereformasi sektor asuransi dan dana pensiun. Potensi kedua sektor ini masih sangat besar, di mana nilai dana pensiun Indonesia masih kurang dari 5 % terhadap PDB nominal pada akhir 2020, jauh lebih kecil dibanding 60 % terhadap PDB untuk Malaysia. Sementara itu, hanya sekitar 16 % dari total angkatan kerja Indonesia yang memiliki akses ke program dana pensiun. Jumlah ini jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand (28,3 %) dan Malaysia (31,3 %) serta rata-rata ekonomi OECD (50,3 %).

Demikian pula di sektor asuransi, total aset sektor asuransi domestik berjumlah kurang dari 10 % terhadap PDB pada akhir 2020. Masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia yang bernilai lebih dari 20 % dan hampir 30 % untuk Thailand.

Keseimbangan atas tercapainya target net-zero carbon emission dan pengembangan sektor industri dana pensiun serta asuransi bertumpu pada dua hal:  1) Kuantitas dan kualitas atau rating atas obligasi infrastruktur hijau, 2) Tingkat penetrasi atas dana pensiun dan asuransi. Di antara banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan dana pensiun dan sektor asuransi, salah satu yang cukup mencolok adalah terbatasnya ketersediaan aset investasi jangka panjang yang berkualitas atau high investment rating di pasar domestik untuk mengelola struktur aset-liabilitas dan eksposur risiko.

Saat ini, kinerja investasi dana pensiun maupun asuransi masih sangat bergantung pada hasil obligasi negara 10 tahun sebagai opsi investasi jangka panjang yang likuid. Struktur jatuh tempo proyek energi bersih yang bersifat jangka panjang (di atas 20 tahun) akan membantu menyediakan alternatif investasi instrumen jangka panjang yang berkualitas. Pada waktu bersamaan, tersedianya suplai atas instrument obligasi hijau yang berkualitas dalam skala besar tanpa adanya kapasitas yang mumpuni dari sektor industri dana pensiun dan asuransi domestik untuk menyerap instrument tersebut kemungkinan besar akan berujung pada kenaikan pada utang luar negeri (penyerapan instrumen hijau tersebut oleh investor asing).

Singkat kata, keberhasilan Indonesia memenuhi target net-zero carbon emission pada 2060 akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan reformasi di sektor dana pensiun dan asuransi, maupun sebaliknya.

Catatan:

– Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul “Potensi Besar Asuransi dan Dana Pensiun Membiayai Net Zero Emission”

[1] Head of IFG Progress

[2] Research Associate of IFG Progress

Bagikan

Baca Juga